Babuai, Hiburan Komidi Putar Dari Bukik Batabuah

Di tengah gempuran hiburan yang serba digital, anak Nagari Bukik Batabuah justru punya alternatif hiburan lain yang tak kalah menyenangkan. Babuai namanya. Uniknya, permainan tradisional ini hanya ada di saat libur lebaran Idul Fitri. Bagaimana keseruannya?

Pagi itu jarum jam belum menunjukkan pukul 08.00 wib. Namun, tiga bocah tampak bersemangat mengenakan baju lebarannya. Belakangan diketahui, para bocah itu hendak pergi babuai ke Ponggok, Nagari Bukik Batabuah.

Babuai
Babuai, Hiburan Komidi Putar Dari Bukik Batabuah

“Mau pergi ke Ponggok, Pak Etek, pergi babuai,” ujar salah seorang bocah bernama Abel.

Babuai merupakan dialek Minangkabau untuk mengucapkan aktivitas berayun. Babuai merupakan hiburan unik yang hanya ada di Nagari Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam.

Lantaran hanya ada di saat lebaran, hiburan mirip komidi putar ini sangat dinanti-nantikan kehadirannya oleh anak nagari setempat.

Bagi anak-anak di Nagari Bukik Batabuah, permainan ini tergolong permainan cukup berkelas. Betapa tidak, roda-roda sarana bermain ini tidak pernah berhenti berputar. Ada saja anak-anak yang ingin menaikinya, meski harus antre dengan yang lainnya.

Bahkan, disaat pembatasan aktivitas hiburan masyarakat dua tahun belakangan, Abel terpaksa babuai di perkarangan rumah dengan sebayanya, dengan ayunan buatannya sendiri. Begitu sangat digandrungi permainan ini.

“Namun karena buaiyan rusak, terpaksa kami pergi ke Ponggok, jauhnya 4 kilometer dari rumah kami,” cerita Abel.

Secara mekanik, babuai merupakan versi sederhana dari komidi putar. Dua tiang besar ditanam ke tanah untuk menyangga palang kayu empat sisi yang berputar, berisi tempat duduk yang juga terbuat dari kayu.

Putarannya searah jarum jam, persis sekali dengan komidi putar. Bedanya, jika komidi putar menggunakan tenaga genset untuk menggerakkan wahana ini, babuai menggunakan tenaga manusia, unik sekali.

Tidak ada batasan usia untuk naik buayan ini, jumlah orang yang naikpun bebas, yang penting keempat tempat duduknya penuh, biar seimbang.

Setelah keempat tempat duduk terisi penuh, tukang ayunnya mulai bergelantungan secara bergantian di masing ayunan. Ayunanpun mulai berputar, makin lama makin kencang. Makin kencang putarannya, makin keras pula teriakan anak-anak di atas ayunan.

“Tambah lai kancangno Oom, tambah kancangno (tambah kecepatannya Oom, tambah kecepatannya, red),” riuh terdengar dari atas buaiyan.

Untuk menikmati keseruan permainan ini pun tidak terlalu merogoh kocek, hanya dengan Rp.2000, anak-anak sudah puas bermainan komidi putar ini, kira-kira dua puluh kali putaran, sekira 5 menit waktunya.

Jikapun masih belum puas bisa tambah Rp. 2.000 lagi untuk putaran berikutnya, tapi harus antre lagi, gantian dengan yang belum naik.

Tidak hanya anak-anak yang bergembira, pedagangpun bersuka cita dengan adanya babuai ini. Setidaknya 20 pedagang menggelar jualannya, mulai dari penjual sate dan jasuke. Penjual es tontong, es potong, sampai lontongpun ada. Harganyapun menyesuikan dengan kantong anak-anak.

“Bungkuskan sate dua ribu Oom, pakai karocok (kerucut),” seru anak-anak.

Yup, dengan empat ribu rupiah anak-anak sudah dapat bermainan buaiyan dan membeli sebungkus sate. Ternyata hiburan itu tidak mesti mahal, bisa juga diperoleh dari hal-hal yang sederhana bukan?