Mencari Kepala Daerah yang Bermodalkan Kepercayaan

Seperti pasal yang biasa, sekira setahun menjelang pemilihan umum kepala daerah, jamak terdengar perbincangan ihwal siapa yang cocok untuk dipilih. Intensitas perbincangannya pun beragam, mulai ngalur ngidul di kedai kopi, sampai yang agak serius di televisi.

Unsplash

Setali mata uwang, pengamat pun tak mau ketinggalan. Jumlahnya pun bertambah menjelang hari H, dan menghilang setelahnya. Baik yang perseroan maupun perorangan. Obrolannya seakan mantra tukang nujum yang tahu apa yang akan terjadi ke depan.

Melalui tulisan (curhatan) fakir ini, saya pun turut menjadi pengamat Pemilu Kada. Tentunya tanpa undangan. Sebab, hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi saya memilih untuk jadi manusia merdeka, mengutip Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demonstran.

Mari saya ajak sidang pembaca sekalian pada apa yang saya amati. Tentunya di tempat tinggal saya. Bagi saya, apa yang saya amati boleh dikatakan bagian dari pendidikan politik di level paling basic. Katakanlah itu menakar sosok kepala daerah.

"Inyo ndak bapitih, itu lo ka maju. Beko kalau lah jadi, mangaruak pitih masyarakat sen karajo -(Dia tak punya uang, itu pula yang akan maju. Nanti kalau sudah terpilih, menguras uang masyarakat saja kerjanya), " ujar seorang pensiuan pegawai negeri di kedai kopi tempat tinggal saya.

Partainya tidak menjadi pilihan orang banyak, tidak punya kredibilitas, belum teruji, dia orang sana, dia orang sini, dan bla-bla.

Sebagai orang tak banyak paham soal "politik" tentu saya merasa senang dengan perdebatan tersebut. Pasalnya, semati-mati angin, masyarakat di sekitar saya sudah ambil andil dalam dinamika politik. Satu poin untuk mereka.

Di satu sisi lainya, saya yang pernah belajar ilmu politik, meski hanya pengantarnya saja merasa ada yang salah ihwal perbincangan tersebut. Meksi saya insaf benar, bahwa teori, semua akan terasa benar dan sesuai logika. Namun, dalam praktik, ada variabel lain yang turut berpartisipasi meski tidak diundang, yaitu perasaan dan kenangan.

Lantas saya berpikir keras, apakah perbincangan tersebut terjadi juga di luar sana. Apakah saat ini sudah zamannya sosok pemimpin itu harus ditakar dari segi materi dan popularitas?

Apa ini yang diramal Soe Hok Gie dulu, politik itu adalah barang kotor penuh lumpur, dan jika tidak bisa lagi menghindar, maka terjunlah. Politik praktis sudah terlanjur menciptakan perdebatan seperti itu, maka ikutilah. (Atau dalam artian lain lawanlah arus).

Saya pun tak bisa jumawa, karena tahu sedikit lantas menjadi sosok yang paling tahu soal politik. Sampai di titik ini, saya merasa kacau, sebagai seorang yang 'merasa' ada yang tidak beres, sebab orang yang 'tahu' tidak boleh diam. Sebab kembali saya kutip Soe Hok Gie, mereka yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaan. (Ini paragraf curhat seorang jumawa, maafkan lah).

Biar ada yang bisa diambil dari tulisan ini, saya mencoba ikut berbincang, meski tak langsung bertatapan. Saya memulainya dengan kredibilitas pemimpin. Saya memiliki pandangan tersendiri perihal seorang pemimpin. Terlebih di era seseorang boleh saja menjadi pemimpin, dan boleh juga menguliti seorang yang akan memimpin. Itulah konsekuensi demokrasi. Meski begitu, kenyataannya mencari seorang pemimpin yang bermodalkan kepercayaan adalah soal lain.

Idealnya-konseptual, sependek yang saya ketahui, masyarakat tentu butuh pemimpin yang bisa meyakinkan, baik fisik maupun spirituil. Mereka yang sungguh-sungguh ingin mewujudkan harapan yang lebih baik. Dalam bahasa lain, yang ingin saya katakan, kepalang mujur, harapan dan keyakinan publik itulah yang perlu disentuh.

Paragraf di atas memang mudah untuk ditulis, tapi sangat sulit untuk diwujudkan. Lebih-lebih di kondisi yang telah mendesain kredibilitas pemimpin dalam narasi yang berbeda dari ideal. Apalagi saat ini masyarakat sudah lebih rasional dalam menentukan pilihan politik.

Saya dan barangkali sebagian orang di luar sana, terlanjur pesimis ihwal kredibilitas pemimpin. Membangun kredibilitas adalah argumentasi yang basi. Saya tidak menyalahkan kendaraan politik, tapi begitulah rasionalitas yang terbangun.

Kali keduanya, saya ingin katakan, secara pribadi saya belajar membangun pola pikir, dimana memilih seorang pemimpin bukan karena atribut di luar calon. Sebab atribut akan menjadi politis bila kita memperbincangkannya, jika tidak, ia akan menjadi atribut dalam pengertian yang sebenarnya. Meski saya sadar, hal tersebut tidak begitu mempengaruhi pola kemimpinan, sebab semuanya kembali terpulang ke atribut tersebut.

Salam.