Kemunculan Donald Trump di panggung politik dunia, yang notabene sebelumnya adalah salah seorang warga Amerika Serikat yang tersohor karena kekayaannya dan keselebritisannya, kini begitu gagah di panggung politik Amerika Serikat, memang membuat dunia terperanjat. Pun demikian juga dengan masyarakat di Indonesia. Loh, bagaimana bisa? Dan rentetan pertanyaan lainnya.
Jika lebih jernih memandang sosok Donald Trump, hal ini bukanlah merupakan sebuah kejutan dalam ranah berdemokrasi bukan? Tentu juga bukan merupakan hal yang eksklusif. Demikian juga soal kemenangan seseorang di pemilu. Sebab Trump muncul sebagai tokoh di pemilu merupakan hasil dari kecemasan sosial dan budaya yang tengah berlangsung di Amerika Serikat, pun demikian juga dengan yang terjadi di negara lainnya di dunia.
Jamak terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, orang-orang mengeluhkan ihwal politik yang telah menjadi domain yang eksklusif, politik hanya untuk sebagian kecil kelompok elit. Padahal mereka mengakui dan begitu menjunjung tinggi demokrasi, yang asasinya menjanjikan kesempatan yang sama untuk semua orang dalam berpartisipasi aktif dalam segala aspek. Bahkan untuk dipilih atau memilih.
Kondisi yang demikian juga tengah terjadi di Indonesia, di mana aspek politik terlalu dikuasi dan dikendalikan oleh partai politik. Sehingga secara tidak langsung memblokir akses politik bagi calon independen dan mengabaikan ekspansi yang tengah menggerogoti dinasti politik di seluruh dunia.
Tidak bisa dielakan yang sedemikian itu, siapa saja berhak berpolitik di hadapan demokrasi. Siapa saja berhak mengkampanyekan diri dan orang lain. Bahkan siapa saja berhak menggelontorkan dana sebanyak mungkin agar bisa dipilih orang lain, tentu dalam batas kewajaran politik yang dianut suatu negara.
Berbicara soal menggelontorkan dana kampanye, saya akan mengajak sidang pembaca sekalian pada kata ‘kekayaan’. Kekayaan (baca: uang) saat ini terlihat sangat mesra dengan demokrasi di hadapan politik. Namun hal yang semacam itu adalah pandangan yang tidak benar sekaligus tidak bisa juga disalahkan. Kekayaan dan kesenjangan ekonomi bukan hanya teori yang tertulis di buku, namun benar-benar terjadi.
Sebuah laporan terbaru dari Oxfam, sebuah organisasi yang katanya antikemiskinan, mengungkapkan bahwa 1 persen miliader lebih kaya dari sisa populasi yang ada di dunia jiga digabungkan. Laporan yang sama juga menunjukkan bagaimana 62 orang terkaya, yang mencakup Bill Gates, Warren Buffet dan sejenisnya, memiliki jumlah kekayaan yang sama dari kekayaan 3,5 miliar orang miskin jika digabungkan. Wow!
Sebuah laporan terbaru dari Oxfam, sebuah organisasi yang katanya antikemiskinan, mengungkapkan bahwa 1 persen miliader lebih kaya dari sisa populasi yang ada di dunia jiga digabungkan. Laporan yang sama juga menunjukkan bagaimana 62 orang terkaya, yang mencakup Bill Gates, Warren Buffet dan sejenisnya, memiliki jumlah kekayaan yang sama dari kekayaan 3,5 miliar orang miskin jika digabungkan. Wow!
Masih ingatkah kita, pada awal tahun 2016 pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa rasio Gini berada di level 0,01-0,4. Seperti banyak negara berkembang lainnya dengan jumlah penduduk yang besar, distribusi kekayaan menimbulkan tantangan serius bagi Indonesia. Ada sekitar 28 juta orang, atau sekitar 10 persen dari total populasi di Indonesia, yang hidup di bawah garis kemiskinan, menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS).
Joseph Stiglitz, seorang ekonom yang beberapa hari ini sering saya baca karangannya, yang juga merupakan peraih Nobel di bidang ekonomi, merupakan satu dari beberapa ahli yang konsisten mengeluh tentang tidak berfungsinya sistem ekonomi kapitalisme global hari ini, saya pikir begitu. Ia menyalahkan kebijakan pemerintah yang dibuat berdasarkan pada “trickle-down” ekonomi mind-set, ah.. argumen ekonomi lama yang mempercayai bahwa memberikan hak ekonomi, seperti keringanan pajak untuk perusahaan-perusahaan besar, investor dan pengusaha kaya akan membantu merangsang pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya akan menguntungkan semua anggota masyarakat. Namun, krisis keuangan yang terjadi pada tahun 2008 telah membuktikan argumen tersebut salah.
Belajar dari kasus di atas, kita dapat melihat bagaimana hubungan antara seorang pengusaha dan politisi. Bahwa hubungan dekat antara keduanya telah memperburuk keadaan. Di Amerika Serikat misalnya, orang-orang tidak akan melupakan dan memaafkan keputusan pemerintah mereka untuk membagikan US $ 700.000.000.000 bailout untuk membantu bank yang terjerat di krisis 2008. Di seluruh dunia, bukan rahasia umum bahwa perusahaan besar bergantung pada bantuan pelobi untuk mempengaruhi anggota parlemen dan pemerintah untuk mengesahkan undang-undang dan peraturan yang sesuai dengan kepentingan bisnis mereka.
Kemudian kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat dan menjadi-jadi telah membuat pertukaran informasi menjadi begitu mudah, bisa mengakses apa saja dan tidak ada batas. Apa tren yang terjadi di satu negara dapat dengan mudah ditiru oleh orang-orang di negara-negara lain. Ini tidak akan menjadi kejutan jika perubahan ekstrim dalam ranah politik dunia juga akan terjadi di Indonesia.
Terkait berdemokrasi dan ihwal politik di Indonesia, kita telah menemukan momen anti-politik pada tahun 2014, ketika Joko “Jokowi” Widodo memenangkan pemilihan presiden bukan? Kita mengenal ranah politik nasional, Jokowi tiba-tiba muncul sebagai politikus kelas berat ketika ia terpilih menjadi gubernur Jakarta dua tahun sebelumnya. Ketika ia diperebutkan, dengan keterampilannya melakukan kunjungan dadakan (blusukan) untuk bertemu orang-orang biasa, ia digambarkan oleh orang-orang sebagai antitesis dari orang terdahulu, politisi yang dinilai membosankan, yang membuat orang-orang malas berpolitik. Namun, kehadiran Jokowi membangkitkan kembali semangat tersebut, yang juga ditiru-tiru politikus saat ini. Namun, sayangnya cara tersebut basi kepagian.
Tidak berapa lama lagi kita akan menghadapi pemilukada, dinamika perpolitikan yang sudah-sudah hendaknya menjadi pelajaran bagi para politisi dan pejabat pemerintah bahwa mereka harus meninggalkan tradisi lama, trik politik kuno, penuh janji-janji. Gombal dan PHP.
Terpenting adalah memperhatikan kepentingan masyarakat yang terus berubah-ubah, serta mengenali tantangan yang dihadapi masyarakat. Politisi dan pemerintah harus mampu menghasilkan kebijakan yang membaikkan kehidupan masyarakat, tentunya dengan cara yang konkret. Terpenting lagi, saat ini masyarakat Indonesia jauh lebih cerdas dalam hal politik. Salam(*)