Matahari baru sedikit saja menggelinding ke barat ketika kudapati ide untuk meriwayatkan tulisan ini. Sementara itu lamat-lamat terdengar tembang Kasih milik Ermy Kullit dari ruang tengah. Ah sial! Bagaimana bisa keponakanku yang terbilang anak zaman sekarang menyukai lagu yang penyanyinya sebantaran ibuku itu.
Foto via Duniaku Network |
Malam ini kasih teringat aku padamu
Seakan kau hadir di sisi menemaniku
Kuyakinkan diri ini agar tiada sepi
Kulewatkan hari di dalam mimpiku
Seandainya mungkin kumampu terbang ke awan
Detik ini juga kuakan melayang ke sana
Kau kubawa pulang dirimu yang slalu kusayang
Bersama, berdua kita bahagia
Kasih dengarlah hatiku berkata
Aku cinta kepada dirimu sayang
Kasih percayalah kepada diriku
Hidup matiku hanya untukmu
(Kasih-Ermy Kullit)
Namun, demikianlah musik tulis Fajar Martha, -penulis yang karyanya kugandrungi belakangan ini- ia seperti sastra. Ia adalah soal rasa. Rasa yang timbul darinya disemai melalui pengalaman hidup sehari-hari. Ia bisa datang dari mana saja, dan disukai oleh siapa saja.
Ya sudahlah, mari abaikan saja musikalitas keponakanku itu, toh Jason Ranti -psikolog yang juga penyanyi- pernah bilang; musik itu cuma ada dua genre, musik yang enak didengar dan musik yang tidak enak didengar.
Kuingin garis bawahi kata "enak" dan "tidak enak" untuk tulisan berikut ini. Barangkali kedua kata tersebut bisa sepadan dengan kalimat; "tulisan yang enak dibaca dan yang tidak enak dibaca." Boleh jadi tulisan yang tengah sidang pembaca simak ini termasuk ke dalam salah satunya. Boleh jadi sangat tidak enak, sebab dari awal sampai detik ini melewar entah ke mana - seperti kiramu tentangku saat ini. Percayalah kubisa terima itu.
Sampai di paragraf ini, kembali kuteringat quotes super dari pencipta Alina yang sendu; Seno Gumira Ajidarma. Dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, dia meriwayatkan bahwa menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang.
Quotes itu benar adanya, sebab banyak kudapati penulis yang berkata-kata melalui tulisannya. Lebih-lebih bagi penulis yang kukenal dekat. Melalui tulisannya, kubisa lihat mimik dan gestur tubuhnya saat bicara. Amboi! Beruntungnya "aku".
Tapi kukira menulis adalah "kematian" yang kau percepat atau yang harusnya kau percepat. Mati dari segala rasa ke"aku"an; mendaku, diakui, terakui, mengakui. Setelah kau menulis, harusnya kau menjadi hampa. Biarkan tulisanmu mencari nasibnya sendiri, tanpa perlu kau urusi kemana ia akan pergi. Tapi sayang, kini banyak yang menjajakan karya yang ditulis.
"Aku suka menulis. Aku cinta menulis. Tetapi aku menulis untuk diriku sendiri dan kesenanganku sendiri,” kata J.D Salinger, yang mungkin bisa menjelaskan mengapa ia sangat tidak mau dikenal sebagai penulis. Meski banyak yang bilang itu tidak ubahnya dengan onani, tapi kupikir dia jauh lebih baik dari mereka yang menandatangani buku-buku dengan iming-iming diskon karena memesan lebih awal. Betapa malangnya mereka yang tidak tahu dirinya jadi korban dan dikorbankan, kata Seno Gumira Ajidarma dalam Kitab Omong Kosong.
J.D Salinger menulis “The Catcher in the Rye" tahun 1951. Dua tahun setelah itu ia pindah ke daerah pedesaan terpencil di Cornish, New Hampshire, Amerika Serikat. Ia mengasingkan diri hingga akhir hidupnya di sana. Tak hanya itu. J.D Salinger melengkapi dirinya dengan senapan. Dia anti selebriti. Ia pun tak mau fotonya berada di sampul bukunya sendiri. Kukira ia penulis yang benar-benar hanya ingin menulis.
”Ketika tulisanmu begitu melejit maka kamu tak bisa lagi menandinginya,” kata Harper Lee mengingatkan.
Tulisan singkat lagi fakir pengetahuan ini bukan bermaksud bertendensi. Sebab, sampai sekarang penulis sendiri belum bisa lepas dari kalimat-kalimat yang ditulis. Dan membiarkannya mencari untungnya sendiri. Pertama, semati-mati angin, selemah-lemah iman, penulis masih berkeinginan tulisan-tulisan yang dihasilkan dibaca banyak orang. Walau itu hanya corat-coret yang kusebut tulisan.
Kemudian, kali keduanya, kita juga tidak bisa mungkiri motivasi seseorang untuk menulis. Jika menulis hanya sekadar untuk menulis tanpa ada iming dan pengharapan di baliknya, maka itulah jalan yang ia pilih. Kita harus hargai itu. Juga sebaliknya, jika menulis untuk menafkahi, itu juga pilihan yang harus dihargai. Menulis untuk jadi selebriti itu juga pilihan.
Menurut pengetahuanku yang sempit, barangkali dulu pada awalnya, alasan orang menulis ya sekadar menulis. Menulis untuk menghibur, menulis untuk perjuangan, menulis untuk pengetahuan atau berdakwah barangkali muncul belakangan ini, setelah pengalaman-pengalaman manusia semakin kompleks.
Terakhir, tulisan sama halnya dengan musik. Sebagai produk kultural, ia boleh saja terkait perkara selera -enak atau tidak enak. Ia boleh saja terkait perkara motivasi. Ia boleh saja terkait perkara pengalaman-pengalaman hidup yang dirasai. Ia boleh saja dikekang atau dilepas kemanapun ia senangi. Sebab tulisan itu soal rasa, maka boleh jadi setelah menulis membuatmu "mati rasa".
Karena melalui tulisan kita bisa curhat, barangkali tulisan ini salah satunya. Selamat berakhir pekan, mungkin hari ini aku harus menyelesaikan kencan rahasiaku bersama Iris Murdoch. Salam.